Dengan tak menunggu banyak waktu aku bergegas menuju ke belakang sekolah dimana tempat biasanya aku menghabiskan waktu yang bagiku membosankan. Sebelum menuju ke belakang sekolah aku telah lebih dulu menghubungi sahabatku, Tari yang kelasnya berbeda penjurusan dengan ku.
“Dor.... “ kata Tari dan Mega mengagetkanku yang sedari tadi menunggu kedatangan mereka.
”Tariiiiiiiiii....” kataku dengan nada kesal
”Maaf ’Bu... salah sendiri di tempat sepi begini kamu bengong entar kesambet setan penunggu pohon loh !!!” kata Tari dengan wajah yang begitu Ceria.
”Eh....Eh...Eh.... kok murung amat ’bu ada masalah apa? Cerita donk, kami kan sahabatmu!!! ” kata Mega seraya memegang pundakku.
”Ngga kenapa-kenapa. Emangnya kalau kita murung mesti ada masalah dulu ya? ” kataku meledek.
”Iya nih..Mega selalu aja menilai seseorang dari wajahnya. Belum Tentukan orang yang murung itu orang yang banyak masalah. Siapa tahu aja orang yang selalu tersenyum ceria yang memiliki segudang masalah...” Bela Tari.
Aku yang mendengar kata-kata Tari tiba-tiba merasa ada yang beda dari Tari. Namun semua tak tampak dari senyuman cerianya.
Seharian ini aku, Tari dan Mega telah puas berbagi cerita, suka-duka, canda dan tawa. Sungguh hari ini adalah Hari yang amat membuatku merasa berbeda.
*****
Keesokan harinya selepas lonceng istirahat kedua.
”Ria....Ria...” terdengar suara Mega dan Tari dari luar kelasku.
Aku dengan segera bergegas meminta izin kepada guru untuk keluar sebentar.
”Bolos Yuk !!!” kata Mega seraya menggenggam erat tanganku.
”Gila....nggak tepat waktu banget kamu, Ga. Sudah ada guru yang masuk jam pelajaran kamu baru menyusulku. Kenapa nggak sedari tadi aja sebelum lonceng masuk?” kataku menolak ajakan Mega.
”O....ya sudahlah. Padahal hari ini Aku ingin banget bareng sama kalian berdua. Mungkin hari ini hari terakhir kita.” Kata Tari.
Aku yang tak mengerti hanya tersenyum dan menganggap bahwa kata-kata Tari hanyalah sebuah kata untuk membujukku bolos jam pelajaran.
*****
”Mega, Kalian marah ya karena kemarin aku nggak mau ikut kalian bolos.” kataku ketika berbarengan jalan menuju ke Kantin.
”Ehm....Tari mana? Tumben nggak ikut keluar?” kata ku dengan memperhatikan sekitar mencari Tari.
”Nggak ada apa-apa. Tari nggak masuk hari ini.” Jawab Mega.
Singkat, padat dan jelas. Dan kami kemudian saling diam dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
Awan hitam terlihat menggupal, menyelimuti sore yang tampak kelam, udara dingin serasa menusuk ke tulang-belulang.
Aku yang menunggu mama belanja bertemu dengan Yani. Teman sekelasku selagi masih kelas X.
“Ria, kamu tahu tidak aku dengar kabar kalau hari senin besok Tari akan menikah?” Ucap Yani.
“ah kamu mengada-ada. Dapat dari mana kamu kabar yang tidak benar tersebut. Apalagi Tari tak ada mengatakan hal apapun kepadaku?” kata ku tak percaya.
“ih aku juga sebenarnya tak percaya. Tapi aku mendapat kabar ini langsung dari tetangganya.”Kata Yani meyakinkan ku.
“Jangan-jangan Tari Jebol?” Tambah Yani.
Aku yang antara percaya dan tidak ini berniat memaksakan diri untuk ke rumah Tari yang sesungguhnya telah amat sangat ku anggap sebagai seorang sahabatku. Antara rasa kesal,bimbang,kecewa,heran dan segalanya bercampur menjadi satu dalam diriku.
Selama ini Tari yang selalu menjadi tempat aku bercerita dan tempat aku menangis.Tarilah yang menjadi tempatku bernaung. Tapi mengapa masalah yang begitu besar ini aku sendiri sahabatnya tak pernah tahu.
Benar-benar bukan keberuntunganku hari ini. Baru saja aku hendak beranjakan kaki dari rumah menuju tempat tari, Hujan pun turun tanpa ampun.
Namun Rasa penasaranku tak kan pernah berujung sebelum aku mendengar sendiri,semua Kenyataan dari yang tertuduh, tari.
Aku yang benar-benar tak bisa mengurungkan rasa penasaranku telah berulang kali menelpon Tari. Namun nomornya saja di non-aktifkan. Aku juga menelpon kesemua teman yang ku rasa mengetahui kabar tentang Tari. Namun satu pun tak bisa terhubungi.
”Mega” baru ku ingat. Mungkin Mega lebih tahu dan lebih bisa menjelaskan semuanya kepadaku.
Telah kesekian kalinya aku menghubungi Mega akhirnya di angkat juga.
”Mega. Kamu mesti jujur sama aku. Aku dengar Tari akan menikah hari senin esok. Apa itu benar?” tanyaku dengan nada sedih.
”Mega jawab jujur !!!” Teriakku.
”Ria. Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?” tanya Mega.
Aku malah makin kesal dengan jawaban Mega. Aku butuh jawaban dari pertanyaanku bukan malah balik diberi pertanyaan.
”Tetangga Tari. Dan aku butuh jawaban pertanyaanku.” kataku.
”Sebelumnya aku mau minta maaf. Selama ini kami merahasiakan semua dari kamu. Kami tak mau menambah beban kamu. Kamu terlalu banyak mendengarkan tanpa pernah didengarkan. Kamu terlalu banyak meneteskan air mata padahal itu bukan masalahmu.” Ucap Mega.
”Jangan mengalihkan pembicaraan.” kataku.
”Iya. Malam ini Tari akan Tunangan. Dan Lusa tari akan menikah.” jawab Mega.
Mendengar perkataan itu seolah telingaku merasa ada petir yang menghujam dalam diriku.
”Dengan Siapa? Rama? Kan tidak mungkin.” kataku dengan nada Penasaran dan bingung.
”Bukan dengan Rama. Tetapi Dengan pilihan orang tuanya. Dan nanti jua kamu akan tahu sendiri” Jawab Mega dengan nada yang makin tak memperjelas bayanganku tentang semua
Semuanya bagaikan mimpo yang benar-benar terpuruk bagiku. Banyak hal yang terbesit dalam pikiranku antara sesal,kecewa, bingung, semuanya seakan bercampur dan tak mampu terkendali dalam hatiku.
Semalaman aku memikirkan masalah ini. Karena semua benar-benar mustahil bagiku. Siapa? Apa? Dan bagaimana calon suami Tari saja aku tak tahu. Di harapku hanya satu saat ini. Ingin hari cepat berganti biar aku bisa mendapat jawaban yang pasti.
*****
Hari ini aku putuskan dengan niat yang sesunggunya bahwa aku harus datang kerumah tari. Aku akan tetap pergi meski apapun hambatan yang menjadi penghalang. Aku segera menyusul Novi, Sahabat sebangku ku untuk mengajaknya ke rumah Tari.
”Assalamualaikum Bu. Tari ada ?” Tanyaku kepada salah seorang Wnita tua yang berdiri di depan pintu Rumah. Ku lihat semua tampak sibuk. Rasa ingin menjerit aku melihat semuanya.
”Ria ??? kamu .....???” kata Tari dengan wajah yang tampak kaget.
Aku yang berusaha menegarkan diri berusaha menahan semua rasa yang ada dalam benak dan hatiku.
”Selamat ya Tari !!!” kataku dengan memberinya sekotak kenang-kenangan yang mungk8in inilah kado terakhir dariku untuknya.
”Ri, kamu bilang selamat? Selamat di atas tangisanku.” kata Tari.
Mendengar ucapan Tari, membuatku tak mampu menahan tangisku. Tangis yang sedari tadi tak ingin ku tampakkan di hadapannya.
”Tar, kenapa kamu tak pernah menceritakan semua kepadaku. Mengapa semua masalah ini kau pendam sendiri?” Tanyaku dengan isak tangis yang benar-benar tak mampu ku bendung.
”Maafin aku. Aku bukan ingin mengatakan Selamat dalam tangisan itu. Tari, ketahuilah jalan kita masih panjang. Apa kamu yakin ingin mengakhiri semua dengan cara secepat ini? Bagaimana dengan Rama?” tanyaku menggenggam erat tangannya.
”semua bukan kemauan ku,Ri. Aku sama sekali tak tahu menahu tentang apa?kapan dan bagaimana semua bisa terjadi.” kata Tari dengan air mata yang meleh di pipi.
”Ya ALLAH ini semua bagai mimpi yang begitu tak hambamu ini inginkan.” kataku dalam hati.
”Kadang aku fikir apa ini hanya mimpi? Dan aku berharap ini segera berakhir. Aku kalah....aku kalah dalam pertahananku. Sakit, Ri. Terlalu berat uji ku kali ini. Aku tak sanggup.” Ucap Tari yang semakin buatku larut dalam semua.
”Kenapa tak kamu tentang saja? Yakini...” kataku
”Semua terlambat. Dan jika aku akan menentang, orang tuaku hanya akan menganggapku sebagai anak yang durhaka dan aku juga telah tersudutkan dalam keluarga besarku. Jika aku melarikan diri, bagaimana dengan hidup yang akan aku jalani. Dan jika aku bunuh diri, Dosa ku tak mungkin dapat terampuni. Semuanya mempersulitku.” Kata Tari.
”satu harapku. Agar ALLAH dapat mencabut nyawaku hari ini. Mengakhiri segala mimpi yang ku rasa begitu Perih.” Tambah Tari.
Ku sungguh-sungguh tak sanggup mendengar apa yang Tari ucapkan. Ingin menangis tapi aku tak ingin membuat Tari semakin terlarut. Dengan Berusaha untuk tegar, aku memegang erat tangan Tari, menghapus air mata di pipinya dan berkata ” Orang Tuamu tahu akan jalan terbaikmu. Orang tuamu hanya ingin kau bahagia dan mendapatkan yang terbaik.”
”Apa ini yang di bilang sayang kepada anak? Apa ini yang di bilang ingin mendapatkan hal yang terbaik dan mencari kebahagiaan untuk anak. Bukan,Ri. Justru ini yang membuatku begitu menderita.” Bantah Tari.
Tak ku sadari pembicaraanku sedari tadi didengar oleh orang tua Tari yang kemudian memarahi Tari karena terlalu banyak bercerita dan menganggap semuanya tak perlu tersesali dan di tangisi.
Aku hanya diam dan terlarut dalam segala pikiran dan dugaanku. Ingin bicara tapi aku tak ingin buat tari semakin di marahi.
“Mana calonmu Tar? Boleh donk kami melihat?” tanyaku dan Novi sambil bercanda.
”Ada di Rumah belakang. Sebaiknya jangan.” Ujar Tari.
”tolonglah. Suamimu juga kan akan jadi calon kakak ipar kami.” Bujuk Novi.
Begitu melihat Calon Suami Tari. Kami hanya terdiam karena diantara kami semua tak ada yang berkata-kata. Aku makin terdiam saat melihat Rama berada diantara kami. Semuanya makin membuatku terbelalak dengan kenyataan pahit yang harus di terima oleh Rama dan Tari yang baru saja menjalin cinta dan sedang berbunga-bunga indah setelah penantian Rama yang bertahun-tahun sudah tiada lelah. Namun semua kini bagai petir dan badai yang memporak-porandakan indahnya cinta yang baru tersemaikan.
”Tar. Aku pulang dulu ya. Karena ada tugas lain yang harus diselesaikan.” kata Rama dengan wajah Sendu dan begitu murung. Tari hanya menjawab dengan anggukkan kepala tanpa ada sepatah kata pun di bibirnya.
”Las, jika aku belum pulang katakan pada orangtuaku aku masih ingin sendiri. Dan jika terjadi apa-apa padaku jangan sesali yang terjadi.” Kata Rama yang membuat bulu kudukku serasa merinding.
”Jika kau Mati, aku jua akan ikut mati.” Bantah tari.
Semuanya seketika hening bagai dalam ruang kosong tanpa adanya satu nyawa yang berkata.
Hari H pun telah tercanangkan. Janur telah berkibar sebagai tanda pernikahan akan segera terlaksanakan. Demi Tari, aku dan ke enam temanku yang lain merencanakan untuk bolos sekolah hari ini.
Aku yang sebelumnya telah merencanakan hal ini telah menyiapkan foto-foto teman-teman sekelas sebagai tanda bahwa diantara kami tidak hanya sebatas seorang teman atau sahabat tapi juga sebagai saudara.
Ini kali keduanya aku melihat calon Tari. aku tatap jauh kearahnya. Selintas aku menatap Tari. wajah ayu dan senyum ceria nya kini hanya sebuah cerita. Rasa sedihku makin membaur dalam diri ini. Aku ingin menangis, tapi aku berusaha untuk tegar menerima. Meski hati tak rela. Aku tak ingin mengancurkan hari Tari dalam selimut mendung air mata.
Sempat terbesit pikirku ” apa sesungguhnya yang di rasa oleh calon suami Tari yang bagiku sungguh tak sepadan dengan Tari. Punya hati kah dia? Mengertikah dia akan posisis yang Tari alami saat ini.”
”Ya ALLAH permainan apa yang terjadi saat ini.”
Aku dan ke enam sahabatku yang lain sempat berbincang masalah ini. Kami mengungkapkan pikiran kami masing-masing. Apalagi dengan kenyataan yang telah terpapar jelas bahwa ini adalah pernikahan yang terpaksa dan perjodohan yang tak di harapkan. Sedangkan aku tahu bahwa ayah Tari adalah bawahan dari calon suami Tari. adakah timbal balik dari semua ini? Lalu mengapa harus Tari yang jadi korban?
Antara kami pun makin terdiam. Saat menatap ayu wajah Tari dengan Polesan make-up. Gadis yang kami kenal dengan senyum ceria nya, ramalan pernikahan yang selalu di paparkan pada kami. Ternyata kini telah siap dalam gerbang bahtera rumah tangga yang tak di inginkan.
”Jangan menangis. Jika kalian memang ingin Aku bahagia. Karena satu tetes air mata kalian akan membuatku berontak di depan calon suami ku. Aku tk ingin keluargaku malu.” Bisik Tari yang sikapnya tampak berusaha Tegar.
Dan aku hanya tetap diam berusaha memberi pengertian padanya dan berusaha menjadi tiang baginya untuk tetap tegar.
Saat akad nikah akan dimulai aku dan ke enam sahabatku saling berpegangan erat. Dengan segala sembilu kami tahan segala lara yang kian menggelora. Ada yang berusaha untuk menerima dan berdoa akan hal baik bagi tari. tapi ada jua yang tak rela.
Awalnya semuanya dapat teratasi dan berjalan tenang. Namun saat ijab Qabul terucap tangis kami berhambur membuat pilu suasana.
Aku yang tak ingin membuat semua kacau dan mengingat pesan Tari tetap berusaha tegar dan berusaha untuk membuat agar tangisan yang lain tidak terdengar oleh Tari.
Memang sulit buat di Terima. Tapi dalam keyakinanku hanya berharap agar tari mendapat yang terbaik.
Setelah akad nikah selesai. Aku dan ke enam temanku berbincang-bincang dengan Tari. sebelumnya telah aku camkan ”Jangan tampakkan wajah murung,jika ingin lihat tari tersenyum.”
”kamu akan sekolah lagi Tari?” tanya Novi.
”tak tahu lah. Tapi kata suami tari sih, Tari akan di sekolahkan lagi.” jawab Tari.
”Terus janji yang di ucapkan suami kamu tadi apa akan benar-benar terlaksana.”tanya novi dengan penasaran.
”aku tak yakin.” tambah novi dengan wajah ketusnya
” insyaALLAH” hanya itu jawaban Tari.
Inilah hari terakhir kami bersama. Hari terakhir si Tukang Ramal pernikahan yang ramalannya jelas-jelas salah. Hari terakhir si tukang dandan. Semua kenangan terbicarakan. Ya....kenangan hanyalah kenangan. Kini dan nanti tak kan mungkin terulang kembali.
Pernikahan yang terpaksa dan perjodohan yang tak diharapkan ini apakah akan membawa tari ke dalam kehidupan yang lebih di harapkan.
Hanya doa yang mampu tersalurkan dalam bias-bias kejadian yang tersesalkan.
Hari yang kami akhiri dengan makan sepiring beramai-ramai, foto-foto, dan bernyanyi bersama akan terukir jelas meski jarak antara kami dan Tari akan terpisah.
Akankah ini akan terulang ?
Sampai cerita ini ditulis
Hanya satu harapan ku
Dengan segala senyum itu
Awalilah hidup baru dengan rasa ikhlas..
Karena hidupdan kebahagiaan adalah pilihan yang harus di jalani.
Takdir memang telah ditentukan
Tapi tak ada salahnya buat kita berusaha mengubah jalannya.
SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU
SAHABAT KU
Gapai terus cita-citamu !!!
Jangan jadikan penyesalan sebagai hambatan.
Kebahagiaanmu
Harapan kami slalu.
Seharian ini aku, Tari dan Mega telah puas berbagi cerita, suka-duka, canda dan tawa. Sungguh hari ini adalah Hari yang amat membuatku merasa berbeda.
*****
Keesokan harinya selepas lonceng istirahat kedua.
”Ria....Ria...” terdengar suara Mega dan Tari dari luar kelasku.
Aku dengan segera bergegas meminta izin kepada guru untuk keluar sebentar.
”Bolos Yuk !!!” kata Mega seraya menggenggam erat tanganku.
”Gila....nggak tepat waktu banget kamu, Ga. Sudah ada guru yang masuk jam pelajaran kamu baru menyusulku. Kenapa nggak sedari tadi aja sebelum lonceng masuk?” kataku menolak ajakan Mega.
”O....ya sudahlah. Padahal hari ini Aku ingin banget bareng sama kalian berdua. Mungkin hari ini hari terakhir kita.” Kata Tari.
Aku yang tak mengerti hanya tersenyum dan menganggap bahwa kata-kata Tari hanyalah sebuah kata untuk membujukku bolos jam pelajaran.
*****
”Mega, Kalian marah ya karena kemarin aku nggak mau ikut kalian bolos.” kataku ketika berbarengan jalan menuju ke Kantin.
”Ehm....Tari mana? Tumben nggak ikut keluar?” kata ku dengan memperhatikan sekitar mencari Tari.
”Nggak ada apa-apa. Tari nggak masuk hari ini.” Jawab Mega.
Singkat, padat dan jelas. Dan kami kemudian saling diam dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
Awan hitam terlihat menggupal, menyelimuti sore yang tampak kelam, udara dingin serasa menusuk ke tulang-belulang.
Aku yang menunggu mama belanja bertemu dengan Yani. Teman sekelasku selagi masih kelas X.
“Ria, kamu tahu tidak aku dengar kabar kalau hari senin besok Tari akan menikah?” Ucap Yani.
“ah kamu mengada-ada. Dapat dari mana kamu kabar yang tidak benar tersebut. Apalagi Tari tak ada mengatakan hal apapun kepadaku?” kata ku tak percaya.
“ih aku juga sebenarnya tak percaya. Tapi aku mendapat kabar ini langsung dari tetangganya.”Kata Yani meyakinkan ku.
“Jangan-jangan Tari Jebol?” Tambah Yani.
Aku yang antara percaya dan tidak ini berniat memaksakan diri untuk ke rumah Tari yang sesungguhnya telah amat sangat ku anggap sebagai seorang sahabatku. Antara rasa kesal,bimbang,kecewa,heran dan segalanya bercampur menjadi satu dalam diriku.
Selama ini Tari yang selalu menjadi tempat aku bercerita dan tempat aku menangis.Tarilah yang menjadi tempatku bernaung. Tapi mengapa masalah yang begitu besar ini aku sendiri sahabatnya tak pernah tahu.
Benar-benar bukan keberuntunganku hari ini. Baru saja aku hendak beranjakan kaki dari rumah menuju tempat tari, Hujan pun turun tanpa ampun.
Namun Rasa penasaranku tak kan pernah berujung sebelum aku mendengar sendiri,semua Kenyataan dari yang tertuduh, tari.
Aku yang benar-benar tak bisa mengurungkan rasa penasaranku telah berulang kali menelpon Tari. Namun nomornya saja di non-aktifkan. Aku juga menelpon kesemua teman yang ku rasa mengetahui kabar tentang Tari. Namun satu pun tak bisa terhubungi.
”Mega” baru ku ingat. Mungkin Mega lebih tahu dan lebih bisa menjelaskan semuanya kepadaku.
Telah kesekian kalinya aku menghubungi Mega akhirnya di angkat juga.
”Mega. Kamu mesti jujur sama aku. Aku dengar Tari akan menikah hari senin esok. Apa itu benar?” tanyaku dengan nada sedih.
”Mega jawab jujur !!!” Teriakku.
”Ria. Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?” tanya Mega.
Aku malah makin kesal dengan jawaban Mega. Aku butuh jawaban dari pertanyaanku bukan malah balik diberi pertanyaan.
”Tetangga Tari. Dan aku butuh jawaban pertanyaanku.” kataku.
”Sebelumnya aku mau minta maaf. Selama ini kami merahasiakan semua dari kamu. Kami tak mau menambah beban kamu. Kamu terlalu banyak mendengarkan tanpa pernah didengarkan. Kamu terlalu banyak meneteskan air mata padahal itu bukan masalahmu.” Ucap Mega.
”Jangan mengalihkan pembicaraan.” kataku.
”Iya. Malam ini Tari akan Tunangan. Dan Lusa tari akan menikah.” jawab Mega.
Mendengar perkataan itu seolah telingaku merasa ada petir yang menghujam dalam diriku.
”Dengan Siapa? Rama? Kan tidak mungkin.” kataku dengan nada Penasaran dan bingung.
”Bukan dengan Rama. Tetapi Dengan pilihan orang tuanya. Dan nanti jua kamu akan tahu sendiri” Jawab Mega dengan nada yang makin tak memperjelas bayanganku tentang semua
Semuanya bagaikan mimpo yang benar-benar terpuruk bagiku. Banyak hal yang terbesit dalam pikiranku antara sesal,kecewa, bingung, semuanya seakan bercampur dan tak mampu terkendali dalam hatiku.
Semalaman aku memikirkan masalah ini. Karena semua benar-benar mustahil bagiku. Siapa? Apa? Dan bagaimana calon suami Tari saja aku tak tahu. Di harapku hanya satu saat ini. Ingin hari cepat berganti biar aku bisa mendapat jawaban yang pasti.
*****
Hari ini aku putuskan dengan niat yang sesunggunya bahwa aku harus datang kerumah tari. Aku akan tetap pergi meski apapun hambatan yang menjadi penghalang. Aku segera menyusul Novi, Sahabat sebangku ku untuk mengajaknya ke rumah Tari.
”Assalamualaikum Bu. Tari ada ?” Tanyaku kepada salah seorang Wnita tua yang berdiri di depan pintu Rumah. Ku lihat semua tampak sibuk. Rasa ingin menjerit aku melihat semuanya.
”Ria ??? kamu .....???” kata Tari dengan wajah yang tampak kaget.
Aku yang berusaha menegarkan diri berusaha menahan semua rasa yang ada dalam benak dan hatiku.
”Selamat ya Tari !!!” kataku dengan memberinya sekotak kenang-kenangan yang mungk8in inilah kado terakhir dariku untuknya.
”Ri, kamu bilang selamat? Selamat di atas tangisanku.” kata Tari.
Mendengar ucapan Tari, membuatku tak mampu menahan tangisku. Tangis yang sedari tadi tak ingin ku tampakkan di hadapannya.
”Tar, kenapa kamu tak pernah menceritakan semua kepadaku. Mengapa semua masalah ini kau pendam sendiri?” Tanyaku dengan isak tangis yang benar-benar tak mampu ku bendung.
”Maafin aku. Aku bukan ingin mengatakan Selamat dalam tangisan itu. Tari, ketahuilah jalan kita masih panjang. Apa kamu yakin ingin mengakhiri semua dengan cara secepat ini? Bagaimana dengan Rama?” tanyaku menggenggam erat tangannya.
”semua bukan kemauan ku,Ri. Aku sama sekali tak tahu menahu tentang apa?kapan dan bagaimana semua bisa terjadi.” kata Tari dengan air mata yang meleh di pipi.
”Ya ALLAH ini semua bagai mimpi yang begitu tak hambamu ini inginkan.” kataku dalam hati.
”Kadang aku fikir apa ini hanya mimpi? Dan aku berharap ini segera berakhir. Aku kalah....aku kalah dalam pertahananku. Sakit, Ri. Terlalu berat uji ku kali ini. Aku tak sanggup.” Ucap Tari yang semakin buatku larut dalam semua.
”Kenapa tak kamu tentang saja? Yakini...” kataku
”Semua terlambat. Dan jika aku akan menentang, orang tuaku hanya akan menganggapku sebagai anak yang durhaka dan aku juga telah tersudutkan dalam keluarga besarku. Jika aku melarikan diri, bagaimana dengan hidup yang akan aku jalani. Dan jika aku bunuh diri, Dosa ku tak mungkin dapat terampuni. Semuanya mempersulitku.” Kata Tari.
”satu harapku. Agar ALLAH dapat mencabut nyawaku hari ini. Mengakhiri segala mimpi yang ku rasa begitu Perih.” Tambah Tari.
Ku sungguh-sungguh tak sanggup mendengar apa yang Tari ucapkan. Ingin menangis tapi aku tak ingin membuat Tari semakin terlarut. Dengan Berusaha untuk tegar, aku memegang erat tangan Tari, menghapus air mata di pipinya dan berkata ” Orang Tuamu tahu akan jalan terbaikmu. Orang tuamu hanya ingin kau bahagia dan mendapatkan yang terbaik.”
”Apa ini yang di bilang sayang kepada anak? Apa ini yang di bilang ingin mendapatkan hal yang terbaik dan mencari kebahagiaan untuk anak. Bukan,Ri. Justru ini yang membuatku begitu menderita.” Bantah Tari.
Tak ku sadari pembicaraanku sedari tadi didengar oleh orang tua Tari yang kemudian memarahi Tari karena terlalu banyak bercerita dan menganggap semuanya tak perlu tersesali dan di tangisi.
Aku hanya diam dan terlarut dalam segala pikiran dan dugaanku. Ingin bicara tapi aku tak ingin buat tari semakin di marahi.
“Mana calonmu Tar? Boleh donk kami melihat?” tanyaku dan Novi sambil bercanda.
”Ada di Rumah belakang. Sebaiknya jangan.” Ujar Tari.
”tolonglah. Suamimu juga kan akan jadi calon kakak ipar kami.” Bujuk Novi.
Begitu melihat Calon Suami Tari. Kami hanya terdiam karena diantara kami semua tak ada yang berkata-kata. Aku makin terdiam saat melihat Rama berada diantara kami. Semuanya makin membuatku terbelalak dengan kenyataan pahit yang harus di terima oleh Rama dan Tari yang baru saja menjalin cinta dan sedang berbunga-bunga indah setelah penantian Rama yang bertahun-tahun sudah tiada lelah. Namun semua kini bagai petir dan badai yang memporak-porandakan indahnya cinta yang baru tersemaikan.
”Tar. Aku pulang dulu ya. Karena ada tugas lain yang harus diselesaikan.” kata Rama dengan wajah Sendu dan begitu murung. Tari hanya menjawab dengan anggukkan kepala tanpa ada sepatah kata pun di bibirnya.
”Las, jika aku belum pulang katakan pada orangtuaku aku masih ingin sendiri. Dan jika terjadi apa-apa padaku jangan sesali yang terjadi.” Kata Rama yang membuat bulu kudukku serasa merinding.
”Jika kau Mati, aku jua akan ikut mati.” Bantah tari.
Semuanya seketika hening bagai dalam ruang kosong tanpa adanya satu nyawa yang berkata.
Hari H pun telah tercanangkan. Janur telah berkibar sebagai tanda pernikahan akan segera terlaksanakan. Demi Tari, aku dan ke enam temanku yang lain merencanakan untuk bolos sekolah hari ini.
Aku yang sebelumnya telah merencanakan hal ini telah menyiapkan foto-foto teman-teman sekelas sebagai tanda bahwa diantara kami tidak hanya sebatas seorang teman atau sahabat tapi juga sebagai saudara.
Ini kali keduanya aku melihat calon Tari. aku tatap jauh kearahnya. Selintas aku menatap Tari. wajah ayu dan senyum ceria nya kini hanya sebuah cerita. Rasa sedihku makin membaur dalam diri ini. Aku ingin menangis, tapi aku berusaha untuk tegar menerima. Meski hati tak rela. Aku tak ingin mengancurkan hari Tari dalam selimut mendung air mata.
Sempat terbesit pikirku ” apa sesungguhnya yang di rasa oleh calon suami Tari yang bagiku sungguh tak sepadan dengan Tari. Punya hati kah dia? Mengertikah dia akan posisis yang Tari alami saat ini.”
”Ya ALLAH permainan apa yang terjadi saat ini.”
Aku dan ke enam sahabatku yang lain sempat berbincang masalah ini. Kami mengungkapkan pikiran kami masing-masing. Apalagi dengan kenyataan yang telah terpapar jelas bahwa ini adalah pernikahan yang terpaksa dan perjodohan yang tak di harapkan. Sedangkan aku tahu bahwa ayah Tari adalah bawahan dari calon suami Tari. adakah timbal balik dari semua ini? Lalu mengapa harus Tari yang jadi korban?
Antara kami pun makin terdiam. Saat menatap ayu wajah Tari dengan Polesan make-up. Gadis yang kami kenal dengan senyum ceria nya, ramalan pernikahan yang selalu di paparkan pada kami. Ternyata kini telah siap dalam gerbang bahtera rumah tangga yang tak di inginkan.
”Jangan menangis. Jika kalian memang ingin Aku bahagia. Karena satu tetes air mata kalian akan membuatku berontak di depan calon suami ku. Aku tk ingin keluargaku malu.” Bisik Tari yang sikapnya tampak berusaha Tegar.
Dan aku hanya tetap diam berusaha memberi pengertian padanya dan berusaha menjadi tiang baginya untuk tetap tegar.
Saat akad nikah akan dimulai aku dan ke enam sahabatku saling berpegangan erat. Dengan segala sembilu kami tahan segala lara yang kian menggelora. Ada yang berusaha untuk menerima dan berdoa akan hal baik bagi tari. tapi ada jua yang tak rela.
Awalnya semuanya dapat teratasi dan berjalan tenang. Namun saat ijab Qabul terucap tangis kami berhambur membuat pilu suasana.
Aku yang tak ingin membuat semua kacau dan mengingat pesan Tari tetap berusaha tegar dan berusaha untuk membuat agar tangisan yang lain tidak terdengar oleh Tari.
Memang sulit buat di Terima. Tapi dalam keyakinanku hanya berharap agar tari mendapat yang terbaik.
Setelah akad nikah selesai. Aku dan ke enam temanku berbincang-bincang dengan Tari. sebelumnya telah aku camkan ”Jangan tampakkan wajah murung,jika ingin lihat tari tersenyum.”
”kamu akan sekolah lagi Tari?” tanya Novi.
”tak tahu lah. Tapi kata suami tari sih, Tari akan di sekolahkan lagi.” jawab Tari.
”Terus janji yang di ucapkan suami kamu tadi apa akan benar-benar terlaksana.”tanya novi dengan penasaran.
”aku tak yakin.” tambah novi dengan wajah ketusnya
” insyaALLAH” hanya itu jawaban Tari.
Inilah hari terakhir kami bersama. Hari terakhir si Tukang Ramal pernikahan yang ramalannya jelas-jelas salah. Hari terakhir si tukang dandan. Semua kenangan terbicarakan. Ya....kenangan hanyalah kenangan. Kini dan nanti tak kan mungkin terulang kembali.
Pernikahan yang terpaksa dan perjodohan yang tak diharapkan ini apakah akan membawa tari ke dalam kehidupan yang lebih di harapkan.
Hanya doa yang mampu tersalurkan dalam bias-bias kejadian yang tersesalkan.
Hari yang kami akhiri dengan makan sepiring beramai-ramai, foto-foto, dan bernyanyi bersama akan terukir jelas meski jarak antara kami dan Tari akan terpisah.
Akankah ini akan terulang ?
Sampai cerita ini ditulis
Hanya satu harapan ku
Dengan segala senyum itu
Awalilah hidup baru dengan rasa ikhlas..
Karena hidupdan kebahagiaan adalah pilihan yang harus di jalani.
Takdir memang telah ditentukan
Tapi tak ada salahnya buat kita berusaha mengubah jalannya.
SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU
SAHABAT KU
Gapai terus cita-citamu !!!
Jangan jadikan penyesalan sebagai hambatan.
Kebahagiaanmu
Harapan kami slalu.